Hubungan yang erat antara penggunaan teknologi dan
kerusakan lingkungan telah menyadarkan masyarakat untuk melakukan
modifikasi dan inovasi dari teknologi yang ada saat ini. Penggunaan
bahan bakar fosil, seperti batubara untuk pembangkit listrik akan dapat
meningkatkan emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Adanya peraturan
pemerintah tentang standar emisi untuk pembangkit listrik di Indonesia,
mendorong upaya untuk selalu mengurangi emisi tersebut.
Ketersediaan sumber energi dan adanya
energi, terus dilakukan inovasi pada teknologi teknologi yang dapat
mengubah sumber energi yang memproduksi, mengkonversi, menyalurkan,
menjadi bentuk yang bermanfaat bagi masyarakat, dan menggunakan energi
sehingga diperoleh merupakan salah satu faktor pemacu pertumbuhan
teknologi yang lebih efisien dan ramah perekonomian dunia dan hal ini
telah tercatat dalam lingkungan.
Batubara diperkirakan paling dominan
digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik di masa datang.
Penggunaan batubara dalam jumlah yang besar akan meningkatkan emisi gas
buang di udara. Salah satu cara untuk mengurangi emisi adalah dengan
menggunakan teknologi bersih. Ada dua cara dalam menerapkan teknologi
tersebut, yaitu pertama diterapkan pada tahapan setelah pembakaran dan
kedua diterapkan sebelum pembakaran batubara. Pada tahap pertama dapat
digunakan teknologi denitrifikasi, desulfurisasi dan penggunaan
electrostatic precipitator. Pada tahap kedua menggunakan teknologi
fluidized bed combustion, gasifikasi batubara, dan magneto hydrodynamic
Agaknya telah jelas bahwa Indonesia
memerlukan pembangkit-pembangkit listrik baru untuk memenuhi kenaikan
kebutuhan listrik di masa yang akan datang. Di AS, untuk tahun 1990,
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap Batubara (PLTU) diproyeksikan akan memegang masing-masing 12,5% dan
55% dari total pembangkitan listrik, suatu angka yang lebih besar dari
kontribusi jenis-jenis sumber energi lain .
Dalam memperbandingkan kedua pilihan ini,
perlu diingat bahwa masing-masing berasal dari teknologi yang berbeda,
meskipun demikian keduanya menggunakan energi yang dihasilkannya untuk
menguapkan air. Selanjutnya uap tersebut digunakan untuk memutar
turbin. PLTN merupakan bidang yang cukup baru dibandingkan dengan PLTU.
Hal ini perlu ditekankan mengingat Indonesia adalah negara yang sedang
berkembang. Selain itu, karena pemakaian bahan-bahan radioaktif untuk
PLTN, masalah-masalah yang dihadapi dan faktor-faktor pembentuk
hambatan tersebut adalah dua lingkup yang berbeda yang kadang-kadang
tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Segi-segi polusi, biaya
konstruksi, pemeliharaan, bahan bakar dan operasi serta keamanan dan
keandalan sistem diambil sebagai pokok- pokok perbandingan dengan
harapan masingmasing akan terwakili secara jelas dan menyeluruh.
Faktor Ekonomi
Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai
investasi dengan modal tinggi dan biaya tahunan yang rendah ( untuk
bahan bakar, operasi dan pemeliharaan) atau disebut “high capital low
annuities investment” sementara PLTU sebaliknya adalah sebuah investasi
dengan ” low capital high annuities “. Ini sedikit banyak dapat
dihubungkan dengan perbedaan waktu konstruksi : 5-6 tahun untuk PLTU
dan 7-10 tahun untuk PLTN. Oleh karenanya, biaya pembangunan PLTN lebih
sensitif terhadap perubahan desain dan teknologi reaktor, perubahan
standar keamanan, harga bahan baku reaktor dan suku bunga pinjaman dari
kapital yang dipakai. Menurut statistik, pembangunan PLTN cenderung
untuk “overbudget”, dari hanya beberapa persen sampai sekitar dua kali
lipat perkiraan biaya semula. Di lain pihak, PLTU lebih sensitif
terhadap harga bahan bakar yang berubah-ubah sesuai dengan pasar yang
ada meskipun biaya pembangunan tidak akan banyak beranjak dari yang
semula diperkirakan. Untuk Indonesia, dimana penyediaan batubara untuk
PLTU akan berasal dari perusahaan negara, faktor perubahan harga ini
tidak akan sedrastis yang terjadi di pasar bebas.
Dari beberapa sumber yang dipakai untuk
artikel ini diperoleh angka yang berbeda-beda untuk biaya rata-rata
untuk kedua jenis pembangkit listrik ini, sehingga hanya dapat
disimpulkan bahwa pada umumnya, terutama untuk negara-negara maju di
Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia, PLTN tergolong lebih murah dari
PLTU untuk kapasitas listrik yang sama. Untuk negara-negara sedang
berkembang yang masih harus mengimpor sebagian besar dari teknologi
pembuatan reaktor tersebut, mungkin didapat angka yang berbeda untuk
biaya pembuatan sebuah reaktor nuklir, tetapi sulit didapat data yang
akurat untuk itu. Maka penulis hanya akan memberikan gambaran tentang
angka-angka yang beriaku di negara-negara maju yang telah kami sebut di
atas.
Maksud dari istilah biaya disini adalah
rata-rata pertahun dari seturuh investasi yang dikeluarkan selama masa
operasinya. Hanya saja untuk masa-masa mendatang harga sebuah PLTN akan
mengalami tingkat kenaikan yang lebih tinggi daripada PLTU, terutama
karena terdapatnya biaya de-commissioning (penutupan sebuah lokasi
PLTN) yang tinggi. Oleh karena itu pada permulaan abad ke 21 nanti
keduanya tidak akan berbeda jauh. Walaupun demikian harga PLTN tetap di
bawah PLTU. Satu referensi mengungkapkan bahwa rendahnya harga PLTN
tersebut dimungkinkan oleh adanya subsidi dari pemerintah setempat
untuk memacu penggunaan teknologi baru ini. Tanpa subsidi tersebut,
biaya sebuah PLTN mencapai 30-100% lebih mahal daripada PLTU. Tetapi
teknologi maju yang didapat bisa dijadikan justifikasi untuk memilih
teknologi tersebut meskipun dengan biaya yang lebih mahal.
Tabel perbandingan biaya pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir dan batubara untuk beberapa negara maju
Faktor Pencemaran Lingkungan dan Kesehatan
Faktor pokok kedua dari perbandingan ini
adalah tentang polusi yang dihasilkan oleh masing-masing pembangkit
listrik. Dari data yang ada, pencemaran udara dari batubara adalah jauh
lebih besar daripada bahan bakar nuklir, terutama asap dari hasil
pembakaran batubara dalam tungku PLTU. Meskipun berdasarka
Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup setiap
PLTU baru diwajibkan untuk memakai “scrubbers” (flue-gas desulphurizer)
untuk mengurangi kadar polutan yang dikeluarkannya, PLTU tetap memegang
peranan penting datam pencemaran udara secara keseluruhan. Adapun
beberapa polutan utama yang dihasilkan dari PLTU adalah sebagai berikut:
-
- gas SOx yang dikenal sebagai sumber gangguan paru-paru dan berbagai penyakit pernafasan.
- gas NOx, yang bersama dengan gas SOx adalah penyebab dari fenomena “hujan asam” yang terjadi di banyak negara maju dan berkembang, terutama yang menggantungkan produksi listriknya dari PLTB. Fenomena ini diperkirakan membawa dampak buruk bagi industri peternakan dan pertanian.
- gas COx yang membentuk lapisan yang menyelubungi permukaan bumi dan menimbulkan efek rumah kaca (”green-house effect”) yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran cuaca yang telah terbukti di beberapa bagian dunia.
- partikel-partikel debu selain mengadung unsur-unsur radioaktif juga berbahaya bagi kesehatan jika sampai terhirup masuk ke dalam paru-paru.
- logam-logam berat seperti Pb,Hg,Ar,Ni,Se dan lain-lain, yang terbukti terdapat dengan kadar jauh di atas normal di sekitar PLTU.
Sebagai kondensator dari sikius uap air
primer, kedua jenis pembangkit listrik di atas memanfaatkan air dari
sumber yang berdekatan dengan lokasinya. Oleh karena itu polusi air
yang disebabkan oleh masing-masing kurang lebih berimbang untuk ukuran
generator yang sama. Sebuah PLTN rata-rata beroperasi dengan efisiensi
panas 33% (40% untuk PLTU). Jadi kurang lebih dua pertiga dari panas
yang dihasilkan oleh bahan bakar terpaksa dilepas ke lingkungan meialui
sikius pendingin. Untuk sebuah PLT (nuklir atau batubara) dengan ukuran
1.000 MWe yang beroperasi dengan efesiensi 35%, dihasilkan sekitar
1.860 MW sisa panas. Jika air diambil dengan debit 100 m3/s, maka air
yang keluar dari sikius sekunder ini akan mengalami kenaikan suhu
sekitar 4,5oC, suatu angka yang cukup untuk menggangu kesetimbangan
ekosistim dari organisms yang hidup di sumber air tersebut. Dampak ini
akan bertambah lagi dengan adanya bahan-bahan kimia pemurni air yang
dicampurkan sebelum air tersebut masuk ke siklus pendingin.akan
penggunaan energy Batubara setelah proses pembakaran
menerapakan teknologi bersih antara lain: Teknologi
Denitrifikasi,Teknologi Dedusting,Teknologi Desulfurisasi,Teknologi C2 Removal,Teknologi
FBC,Teknologi MHD, dan Teknologi kombinasi IGCC dan Fuel
Cell.teknologi-teknologi diatas merupakan teknologi untuk proses
pembakaran pada energi batubara sehingga asap yang dihasilkan itu tidak
terlalu banyak sehingga tingkat polusi yang disebabkan sedikit.
Bertentangan dengan anggapan umum, radiasi
sinar-sinar radioaktif (selanjutnya akan disebut radiasi) bukanlah
sumber utama polusi pada PLTN. Malah terbukti bahwa secara rata-rata
untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari sebuah reaktor nuklir,
dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan yang dipakai di reaktor
tersebut adalah kurang dari 10% dari dosis radiasi alam (dari batuan
radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk
maksud-maksud medis) .
Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal
istilah “black lung”, dimana partikel batubara yang terh-irup oleh para
pekerja tambang mengendap di paru-paru dan menimbulkan berbagai macam
gangguan kesehatan, para pekerja di tambang Uranium (bahan utama untuk
bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi dari Carbon 14 (C-14) dan
gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data statistik didapat
bahwa kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1 orang
tiap 20 juta MWH listrik yang dihasilkan PLTN per tahun. Tetapi karena
kedua unsur tersebut mempunyai waktu paruh yang sangat besar, dampaknya
akan terus terasa untuk masa-masa yang akan datang. Salah satu
pencegahan adalah dengan menempatkan sisa-sisa Uranium tambang di bawah
permukaan tanah dimana radiasinya akan ditahan oleh dinding lapisan
penyekat khusus, tetapi karena praktek ini juga dilakukan untuk sisa
Uranium yang telah tidak mengandung C-14 dan Radon, pada dasarnya belum
ada tindakan khusus yang dicanangkan untuk penangangan bahaya dari
kedua unsur ini.
Perlu disimak bahwa masalah radiasi bukan
semata-mata berlaku untuk PLTN. Misainya untuk kapasitas 1.000MWe, PLTN
menghasilkan 50kCi radiasi yang sebagian besar berasal dari gas Xenon
dan Krypton sementara PLTU akan mengeluarkan 2Ci radiasi yang keluar
dari cerobong asapnya. Meskipun jumlahnya jauh lebih kecil, radiasi
dari PLTU mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar karena kalau abu
tersebut terhisap akan menetap di paru-paru, sumsum tulang atau
jaringan yang lain dan merupakan ancaman yang kontinyu sementara
radiasi PLTN lebih berupa sinar yang menembus tubuh dan tidak menetap.
Pada kedua kasus ini, radiasi yang dihasilkannya masih berada jauh
dibawah limit masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar