Kamis, 16 Februari 2012

T.PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP

1317036351470788721
Hubungan yang erat antara penggunaan teknologi dan kerusakan lingkungan telah menyadarkan masyarakat untuk melakukan modifikasi dan inovasi dari teknologi yang ada saat ini. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara untuk pembangkit listrik akan dapat meningkatkan emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Adanya peraturan pemerintah tentang standar emisi untuk pembangkit listrik di Indonesia, mendorong upaya untuk selalu mengurangi emisi tersebut.
Ketersediaan sumber energi dan adanya energi, terus dilakukan inovasi pada teknologi teknologi yang dapat mengubah sumber energi yang memproduksi, mengkonversi, menyalurkan, menjadi bentuk yang bermanfaat bagi masyarakat, dan menggunakan energi sehingga diperoleh merupakan salah satu faktor pemacu pertumbuhan teknologi yang lebih efisien dan ramah perekonomian dunia dan hal ini telah tercatat dalam lingkungan.
Batubara diperkirakan paling dominan digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik di masa datang. Penggunaan batubara dalam jumlah yang besar akan meningkatkan emisi gas buang di udara. Salah satu cara untuk mengurangi emisi adalah dengan menggunakan teknologi bersih. Ada dua cara dalam menerapkan teknologi tersebut, yaitu pertama diterapkan pada tahapan setelah pembakaran dan kedua diterapkan sebelum pembakaran batubara. Pada tahap pertama dapat digunakan teknologi denitrifikasi, desulfurisasi dan penggunaan electrostatic precipitator. Pada tahap kedua menggunakan teknologi fluidized bed combustion, gasifikasi batubara, dan magneto hydrodynamic
Agaknya telah jelas bahwa Indonesia memerlukan pembangkit-pembangkit listrik baru untuk memenuhi kenaikan kebutuhan listrik di masa yang akan datang. Di AS, untuk tahun 1990, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU) diproyeksikan akan memegang masing-masing 12,5% dan 55% dari total pembangkitan listrik, suatu angka yang lebih besar dari kontribusi jenis-jenis sumber energi lain .
Dalam memperbandingkan kedua pilihan ini, perlu diingat bahwa masing-masing berasal dari teknologi yang berbeda, meskipun demikian keduanya menggunakan energi yang dihasilkannya untuk menguapkan air. Selanjutnya uap tersebut digunakan untuk memutar turbin. PLTN merupakan bidang yang cukup baru dibandingkan dengan PLTU. Hal ini perlu ditekankan mengingat Indonesia adalah negara yang sedang berkembang. Selain itu, karena pemakaian bahan-bahan radioaktif untuk PLTN, masalah-masalah yang dihadapi dan faktor-faktor pembentuk hambatan tersebut adalah dua lingkup yang berbeda yang kadang-kadang tidak dapat diperbandingkan secara langsung. Segi-segi polusi, biaya konstruksi, pemeliharaan, bahan bakar dan operasi serta keamanan dan keandalan sistem diambil sebagai pokok- pokok perbandingan dengan harapan masingmasing akan terwakili secara jelas dan menyeluruh.
Faktor Ekonomi
Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai investasi dengan modal tinggi dan biaya tahunan yang rendah ( untuk bahan bakar, operasi dan pemeliharaan) atau disebut “high capital low annuities investment” sementara PLTU sebaliknya adalah sebuah investasi dengan ” low capital high annuities “. Ini sedikit banyak dapat dihubungkan dengan perbedaan waktu konstruksi : 5-6 tahun untuk PLTU dan 7-10 tahun untuk PLTN. Oleh karenanya, biaya pembangunan PLTN lebih sensitif terhadap perubahan desain dan teknologi reaktor, perubahan standar keamanan, harga bahan baku reaktor dan suku bunga pinjaman dari kapital yang dipakai. Menurut statistik, pembangunan PLTN cenderung untuk “overbudget”, dari hanya beberapa persen sampai sekitar dua kali lipat perkiraan biaya semula. Di lain pihak, PLTU lebih sensitif terhadap harga bahan bakar yang berubah-ubah sesuai dengan pasar yang ada meskipun biaya pembangunan tidak akan banyak beranjak dari yang semula diperkirakan. Untuk Indonesia, dimana penyediaan batubara untuk PLTU akan berasal dari perusahaan negara, faktor perubahan harga ini tidak akan sedrastis yang terjadi di pasar bebas.
Dari beberapa sumber yang dipakai untuk artikel ini diperoleh angka yang berbeda-beda untuk biaya rata-rata untuk kedua jenis pembangkit listrik ini, sehingga hanya dapat disimpulkan bahwa pada umumnya, terutama untuk negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa Barat dan Asia, PLTN tergolong lebih murah dari PLTU untuk kapasitas listrik yang sama. Untuk negara-negara sedang berkembang yang masih harus mengimpor sebagian besar dari teknologi pembuatan reaktor tersebut, mungkin didapat angka yang berbeda untuk biaya pembuatan sebuah reaktor nuklir, tetapi sulit didapat data yang akurat untuk itu. Maka penulis hanya akan memberikan gambaran tentang angka-angka yang beriaku di negara-negara maju yang telah kami sebut di atas.
Maksud dari istilah biaya disini adalah rata-rata pertahun dari seturuh investasi yang dikeluarkan selama masa operasinya. Hanya saja untuk masa-masa mendatang harga sebuah PLTN akan mengalami tingkat kenaikan yang lebih tinggi daripada PLTU, terutama karena terdapatnya biaya de-commissioning (penutupan sebuah lokasi PLTN) yang tinggi. Oleh karena itu pada permulaan abad ke 21 nanti keduanya tidak akan berbeda jauh. Walaupun demikian harga PLTN tetap di bawah PLTU. Satu referensi mengungkapkan bahwa rendahnya harga PLTN tersebut dimungkinkan oleh adanya subsidi dari pemerintah setempat untuk memacu penggunaan teknologi baru ini. Tanpa subsidi tersebut, biaya sebuah PLTN mencapai 30-100% lebih mahal daripada PLTU. Tetapi teknologi maju yang didapat bisa dijadikan justifikasi untuk memilih teknologi tersebut meskipun dengan biaya yang lebih mahal.
Tabel perbandingan biaya pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir dan batubara untuk beberapa negara maju
Faktor Pencemaran Lingkungan dan Kesehatan
Faktor pokok kedua dari perbandingan ini adalah tentang polusi yang dihasilkan oleh masing-masing pembangkit listrik. Dari data yang ada, pencemaran udara dari batubara adalah jauh lebih besar daripada bahan bakar nuklir, terutama asap dari hasil pembakaran batubara dalam tungku PLTU. Meskipun berdasarka Undang-Undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup setiap PLTU baru diwajibkan untuk memakai “scrubbers” (flue-gas desulphurizer) untuk mengurangi kadar polutan yang dikeluarkannya, PLTU tetap memegang peranan penting datam pencemaran udara secara keseluruhan. Adapun beberapa polutan utama yang dihasilkan dari PLTU adalah sebagai berikut:
    • gas SOx yang dikenal sebagai sumber gangguan paru-paru dan berbagai penyakit pernafasan.

    • gas NOx, yang bersama dengan gas SOx adalah penyebab dari fenomena “hujan asam” yang terjadi di banyak negara maju dan berkembang, terutama yang menggantungkan produksi listriknya dari PLTB. Fenomena ini diperkirakan membawa dampak buruk bagi industri peternakan dan pertanian.

    • gas COx yang membentuk lapisan yang menyelubungi permukaan bumi dan menimbulkan efek rumah kaca (”green-house effect”) yang pada akhirnya menyebabkan pergeseran cuaca yang telah terbukti di beberapa bagian dunia.

    • partikel-partikel debu selain mengadung unsur-unsur radioaktif juga berbahaya bagi kesehatan jika sampai terhirup masuk ke dalam paru-paru.

    • logam-logam berat seperti Pb,Hg,Ar,Ni,Se dan lain-lain, yang terbukti terdapat dengan kadar jauh di atas normal di sekitar PLTU.
Sebagai kondensator dari sikius uap air primer, kedua jenis pembangkit listrik di atas memanfaatkan air dari sumber yang berdekatan dengan lokasinya. Oleh karena itu polusi air yang disebabkan oleh masing-masing kurang lebih berimbang untuk ukuran generator yang sama. Sebuah PLTN rata-rata beroperasi dengan efisiensi panas 33% (40% untuk PLTU). Jadi kurang lebih dua pertiga dari panas yang dihasilkan oleh bahan bakar terpaksa dilepas ke lingkungan meialui sikius pendingin. Untuk sebuah PLT (nuklir atau batubara) dengan ukuran 1.000 MWe yang beroperasi dengan efesiensi 35%, dihasilkan sekitar 1.860 MW sisa panas. Jika air diambil dengan debit 100 m3/s, maka air yang keluar dari sikius sekunder ini akan mengalami kenaikan suhu sekitar 4,5oC, suatu angka yang cukup untuk menggangu kesetimbangan ekosistim dari organisms yang hidup di sumber air tersebut. Dampak ini akan bertambah lagi dengan adanya bahan-bahan kimia pemurni air yang dicampurkan sebelum air tersebut masuk ke siklus pendingin.akan penggunaan energy Batubara setelah proses pembakaran menerapakan teknologi bersih antara lain: Teknologi Denitrifikasi,Teknologi Dedusting,Teknologi Desulfurisasi,Teknologi C2 Removal,Teknologi FBC,Teknologi MHD, dan Teknologi kombinasi IGCC dan Fuel Cell.teknologi-teknologi diatas merupakan teknologi untuk proses pembakaran pada energi batubara sehingga asap yang dihasilkan itu tidak terlalu banyak sehingga tingkat polusi yang disebabkan sedikit.
13170364611841576193
Bertentangan dengan anggapan umum, radiasi sinar-sinar radioaktif (selanjutnya akan disebut radiasi) bukanlah sumber utama polusi pada PLTN. Malah terbukti bahwa secara rata-rata untuk seorang yang tinggal sampai 1 km dari sebuah reaktor nuklir, dosis radiasi yang diterimanya dari bahan-bahan yang dipakai di reaktor tersebut adalah kurang dari 10% dari dosis radiasi alam (dari batuan radioaktif alami, sinar kosmis, sinar-sinar radioaktif untuk maksud-maksud medis) .
Kalau untuk tambang-tambang batubara dikenal istilah “black lung”, dimana partikel batubara yang terh-irup oleh para pekerja tambang mengendap di paru-paru dan menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan, para pekerja di tambang Uranium (bahan utama untuk bahan bakar PLTN) terutama terkena radiasi dari Carbon 14 (C-14) dan gas Radon yang terpancar dari Uranium alam. Dari data statistik didapat bahwa kedua jenis radiasi ini menelan korban jiwa kurang lebih 1 orang tiap 20 juta MWH listrik yang dihasilkan PLTN per tahun. Tetapi karena kedua unsur tersebut mempunyai waktu paruh yang sangat besar, dampaknya akan terus terasa untuk masa-masa yang akan datang. Salah satu pencegahan adalah dengan menempatkan sisa-sisa Uranium tambang di bawah permukaan tanah dimana radiasinya akan ditahan oleh dinding lapisan penyekat khusus, tetapi karena praktek ini juga dilakukan untuk sisa Uranium yang telah tidak mengandung C-14 dan Radon, pada dasarnya belum ada tindakan khusus yang dicanangkan untuk penangangan bahaya dari kedua unsur ini.
Perlu disimak bahwa masalah radiasi bukan semata-mata berlaku untuk PLTN. Misainya untuk kapasitas 1.000MWe, PLTN menghasilkan 50kCi radiasi yang sebagian besar berasal dari gas Xenon dan Krypton sementara PLTU akan mengeluarkan 2Ci radiasi yang keluar dari cerobong asapnya. Meskipun jumlahnya jauh lebih kecil, radiasi dari PLTU mempunyai dampak kesehatan yang lebih besar karena kalau abu tersebut terhisap akan menetap di paru-paru, sumsum tulang atau jaringan yang lain dan merupakan ancaman yang kontinyu sementara radiasi PLTN lebih berupa sinar yang menembus tubuh dan tidak menetap. Pada kedua kasus ini, radiasi yang dihasilkannya masih berada jauh dibawah limit masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar